Selasa, 17 Mei 2011

Waktu dan waktu


Annas dan Rizal telah lama menganggur. Bekerja tidak, bisnis pun tidak. Pekerjaan mereka sehari-hari hanya mengobrol di pos ronda sambil main catur. Saat mereka sedang asik main catur, tiba-tiba ada seorang perempuan cantik lewat.

Annas langsung melihat perempuan itu dengan penuh kekaguman,

“Wow, cantik bener…. ” sambil terus melihatnya.

“Eh, jangan melihat terus, dosa tuch…” kata Rizal.

“Astaghfirullah”, kata Annas sambil langsung memalingkan wajah ke papan catur.

“Ton, kamu harus cepat menikah tuch… Usia kamu kan sebentar lagi sudah kepala tiga.” kata Rizal.

“Iya yah… biar mata saya tidak jelalatan lagi. Banyak dosa nich…” katanya sambil tersenyum.

“Ahamdulilah, kamu sadar. Takut dosa.” kata Rizal sambil tersenyum juga.

“Kamu sendiri?”, kata Annas balik menyerang.

“Saya sendiri kan tidak jelalatan kayak kamu.” kata Rizal menimpali dengan cepat.

“Tapi tetap saja harus segera menikah, itu kan saran Rasulullah saw bagi pemuda seusia kita. Masa harus puasa terus, sementara usia semakin hari semakin tua.”

Kondisi menjadi hening… mereka kembali melihat papan catur. Permainan menjadi hampa dan tidak menarik lagi. Selain karena mereka main catur setiap hari, pikiran mereka melayang kemana-mana. Mereke mulai terusik dengan nasib mereka sendiri.

“Iya yah, kita harus segera menikah, itu kan setengah agama. Tapi, siapa yang mau kepada kita yang pengangguran ini.” kata Annas memecah keheningan.

Tapi Rizal tidak memberikan respon. Matanya terus tertuju ke papan catur. Sepertinya dia sedang memikirkan langkah selanjutnya untuk mengalahkan Annas. Tapi….

Dia tiba-tiba bangkit dari tempat duduknya. Kemudian matanya dialihkan melihat jalanan yang ramai dengan lalu lalang kendaraan, orang berangkat kerja, dan pedagang. Tapi tatapannya kosong. Kemudian dia berkata,

“Waktu berjalan terus. Banyak yang harus kita lakukan, seperti menikah. Banyak yang kita inginkan, seperti mata pencaharian. Namun bagaimana semua itu bisa kita miliki jika kita tetap seperti ini? Kita tidak mungkin bisa mengubah nasib jika kita tidak bisa mengubah cara hidup kita.”

“Mungkin sudah nasib kita…” jawab Annas yang menyandarkan tubuhnya ke dinding pos ronda.

“Iya, ini memang nasib kita. Nasib yang kita bentuk dengan kebiasaan-kebiasaan yang kita lakukan selama ini. Bagaimana jika kebiasaan kita ubah? Dengan kebiasaan yang bermanfaat, produktif, atau menghasilkan uang?” kata Rizal.

“Iya… tapi apa?” sambil tetap bersandar.

“Saya juga belum tau.” jawab Rizal sambil membereskan papan catur. Sepertinya permainan catur sudah benar-benar tidak menarik lagi bagi mereka saat itu.

“Ah kamu…” ketus Annas.

“Untuk itulah kita cari tau.” jawab Rizal sambil melangkah pergi.

“Hei… mau kemana?” tanya Annas heran.

“Mau ke rumah paman saya, kali saja ada sesuatu yang bermanfaat yang bisa saya lakukan.” jawab Rizal sambil tetap melangkah.

“Saya juga mau, tunggu…” kata Annas sambil buru-buru menyusul temannya itu.

0 komentar:

Posting Komentar